Rabu, 20 Mei 2009

What's hacking?

What's hacking?

Hacking is a release-method which enables rehabilitators to release orphaned juvenile bird-of-prey- and owl-species without their parent birds. If it is done correctly, the chance of survival for the juveniles is high, at least for most of them.

I'll describe the method in short to give you an idea how it is done, but always keep in mind, that a) you need a permission to do this and b) hacking needs specialists to do the job, so please DON'T try!

First the nestlings have to be raised without imprinting them on humans which is not easy. As soon as they can stand upright, hold their food and tear it, they are put into the so-called hackbox (Have a look at the pic at the bottom of the text!). They are fed there through a slot and should not see the provider of the food to keep the birds shy. Once flight training is noticed, the door of the box is opened. The fledgelings regard this hackbox as their homebase, their nest-ledge and normally always return there after their initial flights. Of course the box has to be set up in the natural habitat of the birds you want to release. You can now provide the food in, on or near the box as long as the juveniles need it. You are their insurance to be fed whenever their hunting attempts fail, which can take several weeks. A hard job watching, sometimes taking a bird back up after a strong gale or thunderstorm, keeping a watchful eye on other predators or humans who are too interested what's going on there. But hacking can be very rewarding if it works - and it does as many ring recoveries after some years and from distances over 700 miles show with my released Kestrels. If some birds survive it's worth the effort.

Rabu, 13 Mei 2009

Sourcecode C++ konversi nilai dan luas lingkaran

Ini adalah source code C++ untuk menghitung konversi nilai dan luas lingkaran
#include
#include
#include
#define pi 3.14

int jejari (int jari){
int r;
r=pow(jari, 2);
return r;
}

float Hasil (int r){

float Luas;
Luas=pi*r;
return Luas;
}

void main(){
int r;
float Luas;
printf ("Masukkan jari-jari : ");
scanf ("%i",&r);
Luas=Hasil(r*r);
printf ("Luas lingkaran : %0.2f",Luas);
getch();
}

#include
#include

char Huruf (int n){
char Nilai;
if (n>81&&n<100){
Nilai='A';
} else {
if (n>61&&n<80){
Nilai='B';
} else {
if (n>41&&n<60){
Nilai='C';
} else {
if (n>21&&n<40){
Nilai='D';
} else {
Nilai='E';
}
}
}
}
return Nilai;
}

void main(){
int n;
char Nilai;
Nilai=Huruf(n);
printf ("Masukkan nilai anda : ");
scanf ("%i",&n);
printf ("Nilai anda : %c",Nilai);
getch();
}

Flowchart Binary Search


Flowchart Binary Search










Jumat, 20 Februari 2009

Membedakan Zionisme dari Yahudi

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sikap toleransi yang wajib diperlihatkan kaum Muslimin terhadap orang-orang ahli kitab telah terbukti sepanjang sejarah Islam. Selama berabad-abad, umat Islam memperlakukan kaum Yahudi dengan sangat bersahabat dan mereka menyambut persahabatan ini dengan kesetiaan. Namun, hal yang telah merusak keadaan ini adalah Zionisme.

Zionisme muncul pada abad ke-19. Dua hal yang menjadi ciri menonjol Eropa abad ke-19, yakni rasisme dan kolonialisme, telah pula berpengaruh pada Zionisme. Ciri utama lain dari Zionisme adalah bahwa Zionisme adalah ideologi yang jauh dari agama. Orang-orang Yahudi, yang merupakan para mentor ideologis utama dari Zionisme, memiliki keimanan yang lemah terhadap agama mereka. Bahkan, kebanyakan dari mereka adalah ateis. Mereka menganggap agama Yahudi bukan sebagai sebuah agama, tapi sebagai nama suatu ras. Mereka meyakini bahwa masyarakat Yahudi mewakili suatu ras tersendiri dan terpisah dari bangsa-bangsa Eropa. Dan, karenanya, mustahil bagi orang Yahudi untuk hidup bersama mereka, sehingga bangsa Yahudi memerlukan tanah air tersendiri bagi mereka.

Hingga saat kemunculan Zionisme di Timur Tengah, ideologi ini tidak mendatangkan apapun selain pertikaian dan penderitaan. Dalam masa di antara dua perang dunia, berbagai kelompok teroris Zionis melakukan serangan berdarah terhadap masyarakat Arab dan Inggris. Di tahun 1948, menyusul didirikannya negara Israel, strategi perluasan wilayah Zionisme telah menyeret keseluruhan Timur Tengah ke dalam kekacauan.

Titik awal dari Zionisme yang melakukan segala kebiadaban ini bukanlah agama Yahudi, tetapi Darwinisme Sosial, sebuah ideologi rasis dan kolonialis yang merupakan warisan dari abad ke-19. Darwinisme Sosial meyakini adanya perjuangan atau peperangan yang terus-menerus di antara masyarakat manusia. Dengan mengindoktrinasikan ke dalam otak mereka pemikiran “yang kuat akan menang dan yang lemah pasti terkalahkan”, ideologi ini telah menyeret bangsa Jerman kepada Nazisme, sebagaimana orang-orang Yahudi kepada Zionisme.

Kini, banyak kaum Yahudi agamis, yang menentang Zionisme, mengemukakan kenyataan ini. Sebagian dari para Yahudi taat ini bahkan tidak mengakui Israel sebagai negara yang sah dan, oleh karenanya, menolak untuk mengakuinya. Negarawan Israel Amnon Rubinstein mengatakan: “Zionisme adalah sebuah pemberontakan melawan tanah air (Yahudi) mereka dan sinagog para Pendeta Yahudi”. (Amnon Rubinstein, The Zionist Dream Revisited, hlm. 19)

Pendeta Yahudi, Forsythe, mengungkapkan bahwa sejak abad ke-19, umat Yahudi telah semakin jauh dari agama dan perasaan takut kepada Tuhan. Kenyataan inilah yang pada akhirnya menimpakan hukuman dalam bentuk tindakan kejam Hitler (kepada mereka), dan kejadian ini merupakan seruan kepada kaum Yahudi agar lebih mentaati agama mereka. Pendeta Forsythe menyatakan bahwa kekejaman dan kerusakan di bumi adalah perbuatan yang dilakukan oleh Amalek (Amalek dalam bahasa Taurat berarti orang-orang yang ingkar kepada Tuhan), dan menambahkan: “Pemeluk Yahudi wajib mengingkari inti dari Amalek, yakni pembangkangan, meninggalkan Taurat dan keingkaran pada Tuhan, kebejatan, amoral, kebiadaban, ketiadaan tata krama atau etika, ketiadaan wewenang dan hukum.” (Rabbi Forsythe, A Torah Insight Into The Holocaust, http://www.shemayisrael.com/rabbiforsythe/holocaust.)

Zionisme, yang tindakannya bertentangan dengan ajaran Taurat, pada kenyataannya adalah suatu bentuk fasisme, dan fasisme tumbuh dan berakar pada keingkaran terhadap agama, dan bukan dari agama itu sendiri. Karenanya, yang sebenarnya bertanggung jawab atas pertumpahan darah di Timur Tengah bukanlah agama Yahudi, melainkan Zionisme, sebuah ideologi fasis yang tidak berkaitan sama sekali dengan agama.

Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi pada bentuk-bentuk fasisme yang lain, Zionisme juga berupaya untuk menggunakan agama sebagai alat untuk meraih tujuannya.

Penafsiran Taurat yang Keliru oleh Kaum Zionis

Taurat adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa. Allah mengatakan dalam Alquran: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi),...” (QS. Al-Maa-idah, 5:44). Sebagaimana pula dinyatakan dalam Alquran, isi Taurat di kemudian hari telah dirubah dengan penambahan perkataan manusia. Itulah mengapa di zaman sekarang telah dijumpai “Taurat yang telah dirubah”.

Namun, pengkajian terhadap Taurat mengungkap keberadaan inti ajaran-ajaran Agama yang benar di dalam Kitab yang pernah diturunkan ini. Banyak ajaran-ajaran yang dikemukakan oleh Agama yang benar seperti keimanan kepada Allah, penyerahan diri kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, takut kepada Allah, mencintai Allah, keadilan, cinta, kasih sayang, menentang kebiadaban dan kedzaliman tertulis dalam Taurat dan bagian-bagian lain dari Kitab Perjanjian Lama.

Selain itu, peperangan yang terjadi sepanjang sejarah dan pembantaian yang terjadi ini dikisahkan dalam Taurat. Jika seseorang berniat untuk mendapatkan dalil – meskipun dengan cara membelokkan fakta-fakta yang ada – untuk membenarkan tindakan keji, pembantaian dan pembunuhan, ia dapat dengan mudah mengambil bagian-bagian ini dalam Taurat sebagai rujukan untuk kepentingan pribadinya. Zionisme menempuh cara ini untuk membenarkan tindakan terorismenya, yang sebenarnya adalah terorisme fasis, dan ia sangat berhasil. Sebagai contoh, Zionisme telah menggunakan bagian-bagian yang berhubungan dengan peperangan dan pembantaian dalam Taurat untuk melegitimasi pembantaian yang dilakukannya terhadap warga Palestina tak berdosa. Ini adalah penafsiran yang tidak benar. Zionisme menggunakan agama sebagai alat untuk membenarkan ideologi fasis dan rasisnya.

Sungguh, banyak orang-orang Yahudi taat yang menentang penggunaan bagian-bagian Taurat ini sebagai dalil yang membenarkan pembantaian yang dilakukan terhadap warga Palestina sebagai tindakan yang benar. The Neturie Karta, sebuah organisasi Yahudi Ortodoks anti Zionis, menyatakan bahwa, nyatanya, “menurut Taurat, umat Yahudi tidak diizinkan untuk menumpahkan darah, mengganggu, menghina atau menjajah bangsa lain”. Mereka menekankan lebih jauh bahwa, “para politikus Zionis dan rekan-rekan mereka tidak berbicara untuk kepentingan masyarakat Yahudi, nama Israel telah dicuri oleh mereka”. (Rabbi E. Schwartz, Advertisement by Neturei Karta in New York Times, 18 Mei 1993)

Dengan menjalankan kebijakan biadab pendudukan atas Palestina di Timur Tengah dengan berkedok “agama Yahudi”, Zionisme sebenarnya malah membahayakan agama Yahudi dan masyarakat Yahudi di seluruh dunia, dan menjadikan warga Israel atau Yahudi diaspora sebagai sasaran orang-orang yang ingin membalas terhadap Zionisme.

Apa itu kiamat (apocalypse)

Kata “apocalypse” berasal dari kata Yunani “apocalupsis” yang berarti “membuka, menyingkapkan, menyingkirkan tutup.” Kitab Wahyu sering kali disebut sebagai “Wahyu Yohanes” karena Allah mengungkapkan zaman akhir kepada Rasul Yohanes. Selanjutnya, kata Yunani untuk apocalypse adalah kata pertama dalam naskah Yunani dari kitab Wahyu. Frasa “literatur apokaliptik” digunakan untuk menggambarkan penggunaan simbol-simbol, gambar-gambar, dan bilangan-bilangan untuk menguraikan kejadian di masa yang akan datang. Di luar kitab Wahyu, contoh dari literatur apokaliptik dalam Alkitab adalah Daniel 7-12, Yesaya 24-27, Yehezkiel 37-41, dan Zakharia 9-12.

Mengapa literatur apokaliptik ditulis dengan simbolisme dan kiasan semacam ini? Kitab-kitab apokaliptik ditulis ketika adalah lebih bijak untuk menyamarkan berita yang disampaikan dalam bentuk gambar dan simbol daripada menyampaikannya dalam bahasa sederhana/jelas. Lagipula, simbolisme menciptakan unsur misteri mengenai waktu dan tempat yang terinci. Namun demikian, tujuan dari simbolisme bukan untuk menciptakan kebingungan, namun untuk mengajar dan mendorong para pengikut Allah di zaman yang sukar.

Selain dari makna Akitabiah yang khusus, istilah “kiamat (apocalypse)” sering digunakan untuk merujuk pada zaman akhir secara umum, atau khususnya pada bagian akhir dari zaman akhir. Kejadian-kejadian zaman akhir seperti Kedatangan Kristus yang Kedua Kali dan Peperangan Harmagedon sering disebut sebagai kiamat (apocalypse). Kiamat (apocalypse) akan merupakan pengungkapan paling akhir dari Allah, murkaNya, keadilanNya, dan yang paling penting adalah kasihNya. Yesus Kristus adalah “pengungkapan” Allah yang terutama karena Dia mengungkapkan Allah kepada kita (Yohanes 14:9; Ibrani 1:2).

Kamis, 19 Februari 2009

KITAB ADAB PERGAULAN, PERSAUDARAAN DAN PERSAHABATAN (1-10/15)

Keutamaan pergaulan dan persaudaraan
Ketahuilah, bahwasanya pergaulan baik itu adalah buah daripada kemurnian budi pekerti, manakala perpecahan pula merupakan buah daripada kejelekan budi pekerti. Maka kebaikan dan kemurniaan budi pekerti itu menelurkan sikap saling cinta mencintai, bersatu-padu antara satu sama dengan yang lain dan berhaluan satu, manakala kejelekan budi pekerti membuahkan sikap saling benci-membenci, dengki antara satu dengan yang lain dan bermusuh-musuhan.

Mengenai kebaikan budi pekerti ini, sudah tidak sepi lagi keutamaannya dalam agama sebab dengan sifat inilah Allah s.w.t. telah memuji NabiNya alaihis-salam dalam firmanNya. “Dan sesungguhnya engkau memiliki budi perkerti yang luhur.” (al-Qalam: 4)

Rasulullah s.a.w telah bersabda: “Kebanyakan sebab yang memasukkan manusia ke dalam syurga ialah taqwa kepada Allah dan kebaikan budi pekerti.”

Sabdanya lagi: “Aku telah diutus untuk menyempurnakan kebaikan-kebaikan budi pekerti.”

Dengan itu sudah jelaslah, bahwa buahnya budi pekerti yang baik menimbulkan rasa perpaduan dan menghalang rasa kesepian jiwa. Dalam hal ini terdapat banyak huraian yang menyimpulkan berbagai-bagai kepujian terhadap sikap perpaduan itu, terutama sekali bila yang menyebabkan ikatan itu, ialah taqwa atau agama ataupun cinta kepada Allah. Kepujian-kepujian itu ada yang terdiri dari ayat-ayat al-Quran, Hadis-hadis Rasulullah s.a.w., atau atsar para sahabat dan tabi’in, semuanya cukup dan lengkap.

Allah s.w.t. telah berfirman untuk memperlihatkan kebesaran kurniaNya ke atas kaum Mu’minin, katanya: “Maka kamu sekalian, dengan sebab kurniaNya itu menjadi saudara.” (ali-Imran: 103)

Maksud dari ayat tersebut ialah kurnia perpaduan antara satu dengan yang lain.

Allah s.w.t. mencela perpecahan dan menegah dengan keras sikap itu dalam firmanNya: “Berpegang teguhlah dengan tali Allah bersama-sama, dan janganlah berpecah-belah” (ali-Imran: 102)

Rasulullah s.a.w. pula telah bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling hampir kedudukannya kepadaKu, ialah orang yang paling terbaik budi pekertinya. Mereka yang bersikap merendah diri dan senang bermesra dan dimesrai.”

Sabdanya lagi: “Seorang Mu’min ialah orang yang senang bermesra dan dimesrai dan tiada gunanya pada orang yang tidak tahu bemersra dan tidak suka dimesrai.

Sabdanya lagi: “Sesiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan baginya, dikurniakannya seorang teman yang saleh. Apabila terlupa diingatkan dan apabila teringat ditolong oleh teman itu.”

Lagi sabdanya: “Tiadalah dua orang yang saling cinta-mencintai karena Allah itu, melainkan yang lebih dicintai oleh Allah itu, ialah orang yang lebih banyak cintanya kepada rekannya.”

Sabdanya lagi: “Sesungguhnya Allah s.w.t. telah berkata: Sudah pastilah kecintaanKu itu terhadap orang-orang yang ziarah-menziarahi karenaKu: Sudah pastilah kecintaanKu itu terhadap orang-orang yang cinta-mencintai karenaKu. Sudah pastilah kecintaanKu itu terhadap orang-orang yang bersusah payah karenaKu. Dan sudah pastilah kecintaanKu itu terhadap orang-orang yang tolong-menolong karenaKu.”

Lagi sabdanya: “Sesungguhnya orang yang amat dicintai oleh Allah, ialah orang yang senang bermesra-mesra dan senang dimesrai. Dan sesungguhnya orang yang amat dibenci oleh Allah, ialah orang yang suka menaburkan kata-kata nista dan suka memecah-belahkan antara sesama saudara.”

Dari atsar pula, apa yang diriwayatkan dari al-Fudhail rahimahullah Ta’ala, katanya: Ah! Engkau ingin menetap dalam Syurga Firdhaus, serta harap bertetangga dengan Allah di dalam rumahNya (Syurga) bersama-sama para Nabi dan Siddiqin, Syuhada dan Salihin! Amalan apakah yang telah anda kerjakan? Syahwat manakah yang telah anda tinggalkan? Kemarahan yang mana satukah telah anda manahan diri? Keluarga yang mana satu telah anda perhubungkan? Kikhilafan saudaramu, sudahkah anda maafkan? Orang dekat yang mana telah anda jauhkan karena mencari keridhoan Allah? Dan dengan orang jauh yang mana telah anda dekatkan karena mencari keridhoan Allah!

Dia berkata lagi: Seseorang yang mengamat-amati wajah saudaranya karena cinta dan rahmat adalah melakukan suatu ibadat.

Menentukan cinta karena Allah

Cinta yang hakiki yang didasarkan karena Allah semata-mata, ialah bila anda mencintai seseorang bukan karena peribadinya, malah karena kelebihan-kelebihannya yang bergantung dengan keakhiratannya. Misal cinta itu ialah: Seseorang yang mencintai gurunya sebab menerusi guru itu ia akan memperolehi ilmu pengetahuan yang akan memperbaiki amalannya. Sedang tujuan utama dari menuntut ilmu pengetahuan dan amalan yang baik itu, ialah keselamatan diri di Hari Akhirat. Inilah yang dikatakan antara contoh-contoh cinta karena Allah semata-mata.

Misal yang lain ialah: Seorang guru mencintai muridnya, sebab kepadanya guru itu dapat menurunkan ilmu pengetahuan dan dengan sebab itu pula guru itu memperoleh pangkat seorang pendidik atau guru. Orang ini juga, dikira cintanya karena Allah semata-mata. Begitu pula orang yang bersedekah dengan harta bendanya karena menuntut keridhoan Allah, atau orang yang suka mengundang tetamu di rumahnya, lalu menghidangkan berbagai-bagai makanan yang lazat, semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Kemudian lahirlah dalam diri orang itu perasaan sayang dan kasih terhadap tukang masaknya, karena kemahirannya untuk menyediakan makanan-makanan yang lazat; cinta ini juga dikira sebagai cinta karena Allah.

Misal lain lagi ialah misal seorang yang suka menyampaikan sedekah kepada orang-orang yang memerlukannya, maka perilakunya itu dikira sebagai cinta karena Allah juga. Ataupun orang yang mencintai pekerja yang membantu mencuci pakaiannya, membersihkan rumahnya, dan memasak makanannya, yang mana dengan terlepasnya ia dari tugas-tugas ini, senanglah ia dapat menuntut ilmu atau membuat pekerjaan yang lain, sedang tujuan utama dari mempekerjakan orang itu semata-mata karena melapangkan diri untuk memperbanyakkan ibadat, maka ia juga terkira pencinta karena Allah.

Begitu juga ia mencintai seorang karena orang itu mencukupkan keperluannya dari wangi dan pakaian, makanan dan rumah dan lain-lain keperluan yang mesti untuk kehidupan di dunia, sedang maksud orang yang menderma itu ialah supaya ia dapat melapangkan diri untuk menuntut ilmu pengetahuan yang berguna, sambil melakukan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala maka cintanya itu dikira karena Allah Ta’ala jua.

Segolongan para Salaf Saleh yang terdahulu, sering segala keperluannya ditanggung oleh hartawan-hartawan yang murah hati. Jadi dalam hal ini, kedua-dua pihak tergolong pencinta-pencinta yang mencari keridhoan Allah Ta’ala.

Juga, jika seseorang itu menikahi seorang wanita yang salehah untuk melindungi dari godaan syaitan, serta memelihara agamanya, atau untuk menginginkan seorang anak yang saleh dari pernikahan itu, ataupun dia mencintai isterinya karena menerusinya ia dapat sampai kepada tujuan-tujuan yang suci, seperti misal-misal yang disebutkan di atas tadi, maka ia adalah seorang pencinta karena Allah Ta’ala.

Demikian pula, jika seseorang itu dalam hatinya tersemat cinta karena Allah dan dunia, seperti seorang yang mencintai guru yang mendidiknya, lalu ia pun mencukupkan segala keperluan guru itu di dunia dengan wang dan sebagainya, maka ia dikira orang yang mencintai karena Allah.

Seterusnya, bukanlah dari syarat-syarat cinta kerna Allah Ta’ala itu, ia mesti tinggalkan semua nasibnya dari harta kekayaan dunia sama sekali, sebab para Nabi salawatullahi alaihim sering menyeru kita berdoa, agar Allah s.w.t. mencukupkan kedua-dua keperluan dunia dan akhirat.

“Wahai Tuhan kami! Berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.”

(al-Baqarah: 201)

Juga dalam doa yang ma’tsur berbunyi: “Ya Allah! Ya Tuhanku! Sesungguhnya aku memohon daripadaMu kerahmatan yang dengannya aku boleh memperoleh pangkat kehormatanMu di dunia dan di akhirat.”

Bila kecintaan seseorang kepada Allah telah menjadi kukuh, niscaya akan muncul wataknya perasaan suka membantu dan menolong serta mengutamakan orang lain dari diri sendiri, bersedia untuk membelanjakan segala yang dimilikinya dari harta, jiwa dan nasihat yang baik.

Dalam hal ini manusia adalah berbeda menurut perbedaan darjat kecintaannya terhadap Allah azzawajalla. Ia akan dicuba dalam kecintaannya itu dengan berbagai-bagai percubaan yang bertalian dengan kepentingan-kepentingan dirinya, sehingga ada kalanya semua kepentingan itu sudah tidak ada yang tinggal lagi, semuanya telah dibelanjakan bagi kepentingan orang yang dicintainya itu, Terkadang-kadang ditentukan sebahagian untuk diri sendiri, manakala yang lain diberikan kepada orang-orang yang dicintainya.

Tidak kurang juga, orang yang membahagikan harta kekayaannya kepada dua, satu bahagian untuk dirinya dan satu bahagian lagi untuk kekasihnya, ada yang memberikan sepertiga dari harta kekayaan, dan ada sepersepuluh dan seterusnya. Banyak atau sedikit wang yang dibelanjakan itu bergantung pada rasa cintanya terhadap orang itu, sebab tidak dapat ditentukan darjat cinta itu, melainkan dengan kadar harta yang dibelanjakan kepada para kekasihnya. Maka barangsiapa hatinya telah dipenuhi oleh rasa cinta karena Allah, tidak ada benda-benda lain yang masih dicintakan lagi, selain dari cintanya kepada Allah semata-mata. Ketika itu tidak akan meninggalkan sesuatu benda pun dari harta kekayaannya, melainkan semuanya dibelanjakan karena Allah s.w.t.

Contoh dalam misal ini, ialah Saiyidina Abu Bakar as-Siddiq (Khalifah Islam pertama), beliau telah menyerahkan puterinya Aisyah (untuk dikahwinkan kepada Rasulullah s.a.w. – pent), sedangkan aisyah itu cahaya matanya kemudian dibelanjakan semua harta bendanya karena Allah s.w.t.

Dengan itu disimpulkan, bahwasanya sesiapa yang mencintai seorang alim atau’ abid, ataupun dia mencintai penuntut ilmu pengetahuan atau orang yang sepanjang masanya beribadat atau membuat kebaikan, maka yakinlah bahawasanya ia mencintainya itu karena Allah dan untuk Allah dan tentulah ia akan mendapat ganjaran pahala dan kurnia dari Allah Ta’ala menurut kadar kekuatan cintanya itu.

Tanda kebencian karena Allah.

Ketahuilah bahwa apabila seseorang itu mencintai seorang lain karena Allah, maka hendaklah apabila ia membencinya karena Allah juga. Sebab punca yang menyebabkan anda mencintai seorang manusia itu, mestilah karena ia amat taat kepada Allah, ataupun karena ia dicintai di sisi Allah disebabkan amalan-amalannya yang baik. Tetapi bila orang itu bermaksiat kepada Allah, maka tentulah anda akan membencinya, karena ia menderhaka kepada Allah dan terkutuk di sisi Allah. Tegasnya barangsiapa mencintai seseorang karena sesuatu sebab, niscaya ia akan membencinya karena sebab yang berlawanan dengannya.

Menampakkan benci kepada seseorang, sama ada dengan membisukan lidah atau tidak ingin berbicara dengannya, atau tidak mengendahkan kehadirannya atau menjauhkan diri daripadanya atau bersikap acuh tak acuh terhadapnya atau menganggapnya tidak penting dan tidak berguna, atau mengeraskan kata bicara kepadanya. Segala sikap ini diperlakukan menurut tingkatan kefasikan seseorang atau kemaksiatan yang ditunjukkan oleh orang itu.

Adapun kesalahan yang telah diakui oleh pelakunya bahwa ia telah berkhilaf, lalu ia merasa dukacita atasnya dan berjanji tidak akan kembali kepadanya lagi, maka sebaik-baiknya ditutup kekhilafan itu dan dikejamkan mata daripadanya.

Sifat yang harus diperhatikan dalam memilih sahabat.

Ketahuilah, bukan semua manusia patut dijadikan sabahat, Rasulullah s.a.w. telah bersabda: “Seseorang itu atas agama (perjalanan) rekannya, maka hendaklah seseorang kamu memerhatikan siapa yang harus dipilih menjadi rekan.”

Sayugialah hendaknya rekan yang dipilih itu mestilah mempunyai beberapa sifat dan kelakuan yang istimewa, yang menyebabkan anda memilihnya untuk dijadikan rekan atau sahabat. Kesimpulannya hendaklah sabahat itu seorang yang waras fikiran, baik budi pekerti, tidak fasik, dan tidak terlampau mementingkan hal-hal keduniaan.

Adapun sifat waras pemikiran itu menjadi modal atau pokok dalam kehidupan, karena tidak ada gunanya membuat sahabat pada orang yang ahmak atau kurang akalnya, sebab yang demikian itu akan membawa kepada perasaan tidak tenteram dan perselisihan, sekalipun persahabatan itu berjalan begitu lama. Ada pula yang berkata bahawasanya memutuskan persahabatan dengan orang yang ahmak itu, adalah suatu pengorbanan (mendekatkan diri) kepada Allah.

Adapun perihal budi pekerti yang luhur itu, maka setiap orang patut bersifat dengannya. Sebab tidak ada gunanya bersahabat dengan orang yang sering dikuasai oleh perasaan marah, suka dipengaruhi oleh nafsu syahwat, atau orang yang bersifat kikir dan pengecut atau orang yang selalu menurutkan segala hawa nafsunya yang buruk itu.

Adapun orang yang fasik dan tetap pula dengan kefasikannya, tidak mahu bertaubat dan tidak mengendahkan nasihat orang supaya mengubah sikapnya, maka orang ini juga tidak ada faedah untuk bersahabat dengannya. Malah melihat kelakuannya saja akan mendorong jiwa kepada perkara-perkara maksiat, serta memadamkan rasa benci kepada maksiat yang sudah dipunyai oleh hati. Begitu pula biasanya, orang yang tidak takut kepada Allah, tidak dapat dipercayai persahabatannya dan tidak dapat ditolak kecurangannya, bahkan biasanya ia memang suka bertukar-tukar sikap dengan pertukaran keadaan dan pendirian.

Allah berfirman: “Dan jangan lah engkau menurut orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari mengingati Kami, lalu ia mengikutkan hawa nafsunya.” (al-Kahf: 28)

Allah berfirman lagi: “Maka berpalinglah engkau dari orang yang tiada mempedulikan peringatan Kami, dan ia hanya menginginkan kehidupan dunia semata-mata”. (an-Najm: 29)

Allah berfirman lagi: “Dan ikutilah jalan orang yang suka kembali (bertaubat) kepadaKu.” (luqman: 15)

Dalam ayat-ayat tersebut ditunjukkan larangan bersahabat dengan orang-orang yang fasik. Al-qamah berpesan kepada puteranya katanya: Wahai anakku! Kiranya engkau merasakan perlu bersahabat dengan seseorang maka hendaklah engkau memilih orang yang sifatnya seperti berikut:

Jika engkau membuat bakti kepadanya, ia akan melindungimu.

Jika engkau rapatkan persahabatan dengannya ia akan membalas baik persahabatanmu itu. Jika engkau memerlukan pertolongan daripadanya berupa uang dan sebagainya ia akan membantumu.

Jika engkau menghulurkan sesuatu kebaikan kepadanya ia akan menerima dengan baik. Jika ia mendapat sesuatu kabajikan (bantuan) daripadamu, ia akan menghargai atau menyebut kebaikanmu.

Jika ia melihat sesuatu yang tidak baik daripadamu, ia akan menutupnya.

Jika engkau meminta sesuatu bantuan daripadanya, ia akan mengusahakannya.

Jika engkau berdiam diri (karena malu hendak meminta), ia akan menanyakan kesusahanmu.

Jika datang sesuatu bencana menimpa dirimu, ia akan meringankan kesusahanmu (membuat sesuatu untuk menghilangkan kesusahan itu).

Jika engkau berkata kepadanya, niscaya ia akan membenarkanmu.

Jika engkau merancangkan sesuatu, niscaya ia akan membantumu.

Jika kamu berdua berselisih faham, niscaya ia lebih senang mengalah untuk menjaga kepentingan persahabatan.

Demikian pesanan Alqamah kepada puteranya dalam menggambarkan perilaku sahabat yang sejati.

Berkata Saiyidina Ali r.a: Saudaramu yang sebenar ialah orang yang sentiasa berada di sampingmu. Ia sanggup membahayakan dirinya demi kemaslahatanmu. Orang yang setiap masa bekerja untuk keperluanmu. Sanggup mengorbankan segala-segala untuk kepentingan dirimu.

Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah berkata pula: jangan sekali-kali engkau bersabahat melainkan dengan salah seorang dari dua orang berikut:

Orang yang engkau merasa senang dengannya dalam menguruskan hal keduniaanmu

Orang yang engkau dapat menambah faedah dan manfaat dalam hal keakhiratanmu. Memasyghulkan diri dengan bersahabat selain dari dua orang yang tersebut di atas itu, akan menyebabkan kerugian dan menunjukkan kebodohan yang besar.

Adapun berkawan dengan orang yang sangat mementingkan perkara keduniaan semata-mata, adalah semacam meminum racun yang membinasakan. Karena tabiat manusia itu sentiasa terpengaruh untuk meniru-niru dan mengikut sikap kawan. Dan memang sudah ternyata, bahwa tabiat manusia selalu meniru tabiat rekannya tanpa disedari oleh yang lain. Jadi bercampur-gaul atau berkawan dengan orang amat mementingkan hal-hal keduniaan semata-mata, akan menarik hati kepada sifat tamak dan sayangkan dunia. Begitu pula bercampur gaul atau berkawan dengan orang yang zahid atau orang yang mementingkan hal-hal keakhiratan, akan menarik hati kepada cintakan kezahidan. Oleh itu dimakruhkan persahabatan dengan penagih dunia atau pencinta dunia, dan dianjurkan persahabatan dengan para ulama dan para bijaksana dan cendekiawan.

Luqman memberikan nasihat kepada puteranya katanya: Wahai anakku! Dampinglah para ulama dan hubungkanlah kedua lututmu dengan mereka, karena hati itu akan menjadi hidup dengan diresapi hikmat sebagaimana bumi yang mati itu akan hidup semua dengan diresapi air hujan.

Hak persaudaraan dan persahabatan

Ketahuilah bahwasanya saudaramu itu mempunyai bermacam-macam hak iaitu:

(1) Hak di bidang harta

(2) Hak memberikan bantuan dengan jiwa dan raga.

(3) Hak memelihara lidah dan hati

(4) Hak memelihara ucapan

(5) Hak pengampunan

(6) Hak mendoakan

(7) Hak menepati janji dan ikhlas diri

(8) Hak memberi kemudahan, meninggalkan bersusah payah atau menyusahkan.

Hak-hak saudara ini berjumlah delapan kesemuanya. Berikut keterangan satu persatu:

(1) HAK DI BIDANG HARTA:

Diriwayatkan dalam sebuah Hadis berbunyi: "Perumpamaan kedua saudara itu adalah seperti kedua tangan; yang satu membersihkan yang lainnya."

Amat tepat sekali, perumpamaan itu, karena memanglah tugas kedua tangan itu saling bantu-membantu antara satu sama lain atas maksud yang satu. Demikian pulalah hendaknya keadaan kedua saudara itu, tiada akan sempurna persaudaraannya, melainkan bila kedua-duanya bersatu dalam satu tujuan, seolah-olah bila dipandang keduanya seperti orang yang satu. Kesatuan tujuan keduanya mestilah dalam keadaan senang dan susah, dan saling tolong-menolong dalam masa akan datang dan sekarang, dengan menjauhkan segala kepentingan diri atau melebihkan satu atas yang lain.

Adapun perihal bantu-membantu dalam soal kewangan terhadap saudara ada tiga peringkat:

Pertama: Tingkat yang paling rendah sekali ialah dengan mengganggap sebagai seorang khadam kepadamu. Jadi lebih dulu, anda penuhkan semua keperluan anda dari harta kekayaan anda. Kemudian sekiranya ada lebih lagi, sedangkan saudaramu memerlukan pula kepada pertolongan, maka barulah anda berikan pertolongan kepadanya. Tetapi jangan pula anda menunggu sampai ia meminta dulu baru diberikan, tetapi hendaklah anda menawarkan terlebih dulu. Jika anda berdiam diri sehingga ia terpaksa meminta, maka sikap itu adalah suatu kecuaian dalam soal persaudaraan.

Kedua: Tingkat kedua ialah dengan menganggap saudaramu seperti dirimu sendiri. Anda ridho berkongsi dengannya dalam harta kekayaan dan segala milik anda, sehingga anda sanggup membahagi dua harta benda dan kekayaan anda bersamanya.

Ketiga: Tingkat yang paling tinggi sekali, iaitu dengan mendahulukan hajat dan keperluannya atas hajat dan keperluan anda sendiri. Sifat seumpama ini hanya ada pada orang-orang dalam tingkatan para siddiqin, dan ia merupakan tingkatan para pencinta.


Dan puncak dari segala tingkatan-tingkatan ini, ialah melebihkan hak orang lain atas hak peribadi sendiri, maka sayugialah anda perhatikan semua tingkatan-tingkatan ini pada diri anda. Kiranya tidak ada satu pun dari ketiga-tiga tingkatan ini pada diri anda, maka ketahuilah, bahwasanya ikatan persaudaraan itu masih belum terikat lagi dalam batin anda. Adapun pergaulan yang berlaku sehari-hari dengan saudara mara itu, tiada lain melainkan semacam pergaulan yang rasmi saja, tidak ada kesan apa pun yang tertinggal di dalam akal atau agama.

Berkata Maimum bin Mahran: Barangsiapa yang suka berkawan, tetapi tidak suka melebihkan kawan atas diri sendiri, maka lebih baik ia berkawan dengan ahli kubur. Setengah ahli agama masih belum dapat menerima darjat pertama dari tingkatan-tingkatan yang tiga tadi sebagai sifat yang diridhoi oleh mereka.

Diriwayatkan bahwa Utbah al-Ghulam rahimahullah mengunjungi rumah seorang kawan yang telah diakuinya sebagai saudara, lalu berkata: Aku perlukan dari hartamu sekadar 4,000 dirham. Jawab rekannya: Ambillah 2,000 saja! Utbah enggan menerimanya malah ia mencela orang itu, katanya: Sungguh tak kusangka bahwa anda telah memilih dunia dari Allah Ta'ala. Tidakkah anda merasa malu mendakwakan persaudaraan karena Allah, kemudian anda berkata semacam ini?

Adapun tingkatan yang paling tinggi sekali dari tingkatan persaudaraan itu, maka Allah telah menjelaskan sifatnya sepertimana yang ditunjukkan kepada kaum Mu'minin yang berikut dalam firmanNya: "Dan urusan mereka dipermusyawaratkannya antara sesama mereka, dan mereka sentiasa membelanjakan apa-apa yang Kami memberikan rezeki kepada mereka." (asy-Syura: 38)

Yakni, kaum Mu'minin itu menjadi syarikat atau kongsi dalam harta benda sesama sendiri, tidak ada bedanya harta seorang dengan yang lainnya. Bahkan ada di antara mereka itu yang enggan mengaku kawan kepada orang yang berkata: Ini sandalku, yakni ia telah mementingkan dirinya sendiri bila mengatakan sandal itu miliknya.

Ada di antara mereka itu yang terus memerdekakan hamba sahayanya disebabkan kedatangan seorang teman atau saudara ke rumahnya, lalu mengambil dari hartanya sekadar keperluan saudara itu sedangkan ia tidak ada di rumah. Perbuatan memerdekakan hamba sahaya itu karena terlalu gembira dengan perilaku kawannya tersebut.

Berkata Zainul Abidin Ali Ibnul-Hussain r.a kepada orang ramai: Pernahkah seseorang di antara kamu memasukkan tangannya ke dalam saku atau kocek kawannya seraya mengambil apa yang diperlukan olehnya tanpa izin? Mereka berkata: Tidak pernah! Maka beliau berkata lagi: Kalau begitu kamu sekalian belum boleh dikatakan sahabat.

Ibnul Umar r.a pula berkata: Seorang sahabat Rasulullah s.a.w. telah menerima hadiah kepala kambing dari sahabatnya, tetapi dia telah menolaknya dengan alasan ada sahabat yang lain yang lebih berhajat daripadanya, maka kepala kambing itu pun dibawalah kepada sahabat yang dikatakan lebih berhajat itu, tetapi sahabat itu juga telah menolaknya, dengan alasan bahwa di sana ada orang lain yang lebih berhajat daripadanya. Seterusnya kepala kambing itu pun bertukar tangan dari seorang kepada yang lain, sehingga berkeliling ke tangan tujuh orang dan akhirnya sampai semula ke tangan orang yang pertama itu sekali lagi.

Berkata Abu Sulaiman ad-Darani: Andaikata seluruh isi dunia ini kepunyaan saya, lalu saya letakkannya ke dalam mulut salah seorang dari sahabat-sahabatku, maka saya masih merasakan terlalu sedikit; iaitu disebabkan membelanjakan sesuatu ke atas sahabat itu lebih utama daripada bersedekah terhadap kaum fakir miskin.

Berkata Ali r.a.: Dengan hanya dua puluh dirham yang dapat aku berikan kepada saudaraku karena Allah adalah lebih kucintai daripada dapat bersedekah dengan seratus dirham ke atas orang-orang miskin.

Termasuk kesucian diri dalam persaudaraan ialah bersenang lenang di rumah sahabat, sebagaimana ianya menjadi amalan sebahagian terbesar dari para Salaf Saleh. Allah telah berfirman: "Ataupun di rumah yang kamu miliki kunci-kuncinya atau di tempat kawanmu." (an-Nur: 61)

Maksud dari ayat di atas ialah sekiranya ada seorang sahabat yang menyerahkan kunci rumahnya kepada sahabat yang lain, serta mengizinkan sahabat itu untuk bertindak sesuka hati di dalam rumahnya itu. Jadi pada mulanya sahabat itu memelihara diri supaya tiada memakan sesuatu dalam rumah itu menurut hukum taqwa, sehingga Allah turunkan ayat yang tersebut di atas, yang mengizinkan untuk bersenang lenang dalam mengecap makan-minum kawan-kawan dan rekan-rekan di rumah masing-masing.


(2) HAK MENOLONG DENGAN JIWA DAN RAGA


Di dalam soal menunaikan hajat seseorang sahabat dan mengusahakan semua keperluannya serta mengutamakan hajat-hajat kawan atas diri sendiri itu ada pula tingkatan-tingkatannya. Tingkatan yang paling rendah sekali ialah memenuhi hajat dan keperluan kawan, bila ia memintanya, sedangkan kawan yang diminta bantuan itu berkuasa untuk membantunya pula. Bila diberikan bantuan, hendaklah dengan wajah yang manis dan rasa senang, serta melahirkan tanda kegembiraan, kerana kawan itu sanggup menerima kurniannya.

Setengah orang berkata: Apabila anda memohon pertolongan dari saudaramu pada sesuatu keperluan, sedangkan ia tiada memenuhi permohonan anda itu, maka hendaklah anda ingatkannya kali kedua, kerana mungkin sekali ia telah terlupa. Tetapi sesudah itu jika ia masih tidak mengendahkan anda lagi, maka hendaklah anda membaca: Allahu Akbar kepadanya (seolah-olah anda berdiri sedang sembahyang jenazah --- pent), kemudian bacakan ayat al-Quran ini:
“Dan orang-orang yang mati itu, akan dibangkitkan oleh Allah.” (al-An’am: 36)

Di antara para salaf, ada yang mengambil berat terus mengenai hal-ehwal keluarga dan anak-anak sahabatnya, selepas wafatnya sahabat itu sepanjang masa 40 tahun. Ia mencukupkan semua keperluan mereka, dan sentiasa menziarahi mereka serta memberikan berbagai-bagai bantuan moral material setiap kali mereka memerlukannya. Pendek kata, keluarga itu tidak akan merasa kurang apa-apa, kecuali batang-tubuh ayah mereka yang telah meninggal dunia saja, malah mereka mendapati rakan-rakan ayah mereka dalam mengambil berat tentang hal-ehwal mereka itu, melebihi tanggungjawab ayah sendiri sewaktu hayatnya.

Antara tugas-tugas yang dijalankan oleh para salaf itu, ialah sering mengunjungi rumah-rumah para sahabat mereka, serta membawa segala keperluan ahli rumah itu, padahal sahabatnya dan seisi ahli rumah itu, tiada mengetahui siapakah yang memberikan bantuan itu. Dengan cara beginilah mereka binakan perasaan kasih sayang dan simpati dalam persudaraan mereka itu. Sebab persaudaraan yang tidak menelurkan apa-apa perasaan kasih sayang dan simpati antara sahabat yang lain itu tidak ada gunanya sama sekali.

Berkata Maimun bin Mahran: Orang yang tidak ada faedah persahabatannya, tentu tidak akan mudharat permusuhannya.

Kesimpulannya: Hendaklah dijadikan hajat dan keperluan saudaramu itu persis seperti hajat dan keperluan diri sendiri, malah kalau boleh lebih dipentingkan hajat dan keperluan mereka dari diri sendiri. Bahkan hendaklah anda sentiasa menyelidiki masa-masa timbulnya keperluan saudaramu itu, jangan sampai terlalai dengan hal ehwalnya sebagaimana anda tidak melalaikan tentang hal ehwal diri sendiri. Dan hendaklah anda tidak membiarkan saudaramu memulakan permintaan bantuan atau pertolongan, baru diberikan. Kemudian bila sudah dibantu, janganlah merasakan diri anda itu mempunyai hak atau budi ke atasnya, tetapi hendaklah dianggapnya sebagai anda terhutang budi kepadanya, kerana ia suka menerima jasa baikmu dan pertolonganmu untuk menghuraikan keperluannya.

Berkata Atha’: Perhatikanlah sahabat-sahabatmu itu didalam tiga persoalannya, iaitu:

(1) Jika mereka sakit, hendaklah segera menziari mereka.

(2) Jika mereka terlalu sibuk dengan urusan-urusan, maka berikanlah bantuan.

(3) Jika mereka terlupa, maka hendaklah mengingatkan mereka.

Said Ibnul-Ash berkata pula: Sahabatku yang rapat kepadaku mempunyai tiga
macam hak atasku, iaitu:
(1) Jika ia datang kepadaku, niscaya aku mengalu-alukan
kedatangannya.
(2) Jika ia berbicara, niscaya aku berikan perhatian kepada
perbicaraanya.
(3) Jika ia duduk disebelahku, niscaya aku luaskan tempat
untuknya.


Allah telah berfirman:

“Mereka itu mempunyai perasaan kasih sayang antara sesama mereka”
(al-Fath: 29)

Ayat ini menunjukkan perasaan simpati dan perasaan hormat menghormati dan
kasih-mengasihi antara sesama sahabat.
Seterusnya untuk menyempurnakan perasan simpati dan kasih sayang antara
para sahabat, hendaklah jangan mengadakan jamuan makanan yang lazat atau
mengadakan keramaian tanpa mengundangnya turut bersama mengecap
makanan-makanan yang lazat itu, malah hendaklah merasa tidak senang bila
ia tiada bersama-sama ataupun merasa kurang meriah bila ia terpisah dari
sahabat-sahabatnya dalam keadaan-keadaan yang demikian.

Hak persaudaraan dan persahabatan

Ketahuilah bahwasanya saudaramu itu mempunyai bermacam-macam hak iaitu:
(1) Hak di bidang harta
(2) Hak memberikan bantuan dengan jiwa dan raga.
(3) Hak memelihara lidah dan hati
(4) Hak memelihara ucapan
(5) Hak pengampunan
(6) Hak mendoakan
(7) Hak menepati janji dan ikhlas diri
(8) Hak memberi kemudahan, meninggalkan bersusah payah atau
menyusahkan.

Hak-hak saudara ini berjumlah delapan kesemuanya. Berikut keterangan satu
persatu:

(3) HAK MEMELIHARA LIDAH


Dalam menunaikan hak sahabat dalam memelihara lidah ialah dengan berdiam
diri suatu kala dan berbicara di kala yang lain.
Cara berdiam diri itu ialah tiada menyebut-nyebut keburukan-keburukan
kawan di masa dia hadir di hadapan kita ataupun dia tiada. Malah jika kita
tahu ada keburukannya, kita buat-buat tidak tahu saja, dan kalau ada orang
yang menyebutnya, kita harus pura-pura tidak tahu, dan jangan sampai kita
menambah-nambah pula atau membuka pintu perdebatan mengenai keburukan
kawan itu. Dan jangan pula kita merisik-risik tentang kekurangannya atau
menungkit-ungkit perihalnya.


Andaikata kita lihat ia sedang menuju ke suatu usaha, atau sedang
menunaikan sesuatu keperluan, maka janganlah kita bertanyakan tentang
maksud dari usahanya itu, dari mana puncanya dan datangnya. Mungkin sekali
dia tidak ingin memberitahu kita tentang rahasia perusahaannya itu,
sehingga ia terpaksa berbohong kerananya.

Apabila diberitahukan kepada kita sesuatu rahasia, maka hendaklah kita
menyimpannya baik-baik, jangan sampai kita bocorkan rahasia itu kepada
sesiapa pun, meskipun kepada salah seorang sahabat yang paling rapat
dengannya. Rahasia itu mestilah disimpan baik-baik, walaupun sesudah itu
berlaku pergeseran atau perselisihan-faham antaranya dengan kita, namun
rahasia mestilah dijaga. Jika kita bocorkan juga, maka itu adalah sikap
orang yang tercela tabiatnya dan kotor batinya.

Seterusnya, hendaklah kita tidak mencela rakan-rakan yang disayanginya,
begitu pula dengan isteri dan anak-anaknya. Andaikata kita mengetahui ada
orang lain yang mencacinya, maka janganlah pula kita menyampaikan
caci-cela itu kepadanya. Kerana ada kata pepatah: Orang mencacimu itu
ialah orang yang menyampaikan cacian orang lain, Sebaik-baiknya, bila
mendengar ada orang yang memuji sahabat kita, kita sampaikan kepadanya,
kerana yang demikian itu akan menimbulkan rasa gembira dalam hatinya, dan
dia pula akan berterima kasih kepada kita kerana kita sampaikan berita
itu, kemudian itu akan menimbulkan rasa gembira dalam hatinya, dan dia
pula akan berterima kasih kepada kita kerana kita sampaikan berita itu,
kemudian dia akan merasa senang dengan orang yang memujinya itu. Menyimpan
berita itu, samalah seperti orang yang busuk hati dan hasad.

Pendek kata, hendaklah kita tiada menyebut-nyebut kata-kata yang boleh
menimbulkan kemarahan atau perasaan benci dalam hatinya, melainkan bila
wajib kita berkata terus terang kepadanya dan tidak ada jalan lain lagi
untuk menahannya; iaitu seperti mengingatkan kepada suruhan agama yang
mesti ditunaikan atau larangan yang patut dijauhi. Dalam hal serupa ini,
tidak boleh berdiam diri, malah berdosa jika menutup mulut. Meskipun
berkata terus terang begitu akan menimbulkan kemarahannya, namun kita
harus tiada mengendahkan yang demikian itu. Sebab itu sebenarnya serupa
dengan melakukan suatu kebajikan bagi faedahnya, walaupun dianggap sebagai
suatu perkara buruk pada zahirnya.

Adapun menyebut-nyebut tentang keburukan-keburukannya, aib-aibnya serta
aib-aib anak-anaknya, maka itulah yang dikatakan ghibah atau mengumpat dan
hukumnya adalah haram atas setiap orang Muslim.


Anda dilarang dari perkara ini ialah disebabkan dua perkara:

Pertama: Cuba anda perhatikan terlebih dulu perihal diri anda sendiri.
Kiranya anda dapati dirimu ada satu saja dari perkara yang tercela itu,
maka sudah cukuplah bagi anda untuk menahan diri daripada mencela orang
lain. Memadailah anda fahamkan, bahwa dia tiada berdaya untuk menahan
dirinya dari melakukan perkara yang tercela itu, sepertimana anda juga
tidak berkuasa untuk mengekang diri dari perkara-perkara bala yang menimpa
atas diri sendiri. Janganlah anda memandang terlalu berat suatu kelakuan
yang tercela daripadanya, kerana siapakah orangnya yang boleh dikatakan
terlepas dari celaan dan cemuhan?!

Kedua: Ketahuilah, kiranya anda ingin mencari kawan seorang yang bersih
dari segala aib dan keburukan, anda akan terpaksa mengasingkan diri dari
sekalian manusia, sedangkan anda masih belum ketemui orang itu lagi. Sebab
tiada seorang pun di dalam dunia ini, melainkan ada padanya
perkara-perkara yang baik dan perkara-perkara yang buruk. Kiranya
kebaikannya itu lebih banyak dari keburukannya, maka itulah sebaik-sebaik
kawan yang dicari dan tidak ada lebih baik dari itu.


Ingatlah bahwa sifat seorang Mu’min yang mulia itu, hatinya sentiasa
mengenang-ngenangkan kebaikan kawan agar timbul dalam hati kawan itu
perasaan saling hormat-menghormati, sayang-menyangi dan perasaan suka
memuliakan kawan yang lain. Sebaliknya sifat seorang munafik pula,
pekertinya buruk, hatinya selamanya akan memendam segala macam keburukan
orang lain dan keaibannya.

Berkata Ibnul-Mubarak: Orang Mu’min itu selalu menerima keuzuran (jika ada
orang membuat salah – pent) dan orang munafik selalu mencari-cari
kesalahan orang lain.

Al-Fudhail berkata pula: Kepahlawanan itu ialah memaafkan segala
kekhilafan kawan-kawan.


Oleh kerana itulah maka Rasulullah s.a.w telah bersabda:


“Berlindunglah dari jiran yang jahat pekertinya; bila melihat kebaikan
ditutupnya, dan bila melihat keburukan diheboh-hebohkannya.”

Sebagaimana kita wajib memelihara lidah dari menyebut-nyebut segala
keburukan kawan, begitu juga kita wajib memelihara hati dari segala
sangkaan buruk terhadapnya. Sebab sangkaan buruk di dalam hati iti dikira
ghibah juga. Dan ghibah atau mencaci di dalam hati adalah dilarang keras
oleh agama. Dan batasannya supaya kita tidak mengira semua amalan kawan
itu buruk, tetapi sekadar yang boleh kita kira semuanya bertujuan baik.


Tetapi jika sudah terang, bahwa amalan itu sememangnya buruk dengan penuh
keyakinan dan penyaksian mata, sebaik-baiknya dikira saja bahwa perkara
itu berlaku daripadanya kerana terlalai atau terlupa, supaya kita terjauh
dari buruk sangka, Sebab yang demikian itu akan menarik kita untuk
mengintip rahasia orang dan mencari-mencari kesalahan orang lain. Nabi

s.a.w. telah bersabda:

“Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, jangan mengintip-intip
rahasia mereka, janganlah memutuskan perhubungan, jangan bermusuh-musuhan
dan jadilah kamu sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.”


Jadi menutup keburukan-keburukan orang lain dan pura-pura tidak nampak
atau tidak tahu mengenai keburukannya itu, adalah sikap yang patut
dilengkapi oleh ahli agama. Dan ketahuilah, bahwasanya tidak akan sempurna
iman seseorang Muslim itu, selagi ia tidak mencintai diri saudaranya
sepertimana ia mencintai dirinya sendiri. Dan sekurang-kurangnya,
hendaklah ia memperlakukan terhadap saudaranya, sebagaimana ia berharap
orang lain memperlakukan terhadap dirinya sendiri.


Adapun punca segala kecuaian dalam soal menutup keaiban orang lain, atau
suka membocorkan rahasia kawan, ialah bersumber dari penyakit yang
terpendam di dalam hati; iaitu kedengkian (hasad). Barangsiapa yang
menyimpan perasaan dendam di dalam hatinya terhadap seseorang Muslim, maka
imannya masih lemah dan tumpul, dan perkara ini amat membahayakan diri
manakala hatinya dikira busuk, tiada sesuai untuk bertemu dengan Allah
s.w.t.


Di antara hak-hak kawan yang lain yang harus dipelihara ialah: Tidak
membocorkan rahasia yang dipercayakannya kepada kita. Kita boleh
mengingkarinya, jika perkara yang dilakukannya itu tidak baik meskipun
dengan berbohong, kerana bercakap benar itu bukanlah wajib pada semua
keadaan. Sayugialah, sebagaimana seseorang itu harus menutup keaiban
dirinya dan rahasia-rahasianya yang buruk, sekalipun ia terpaksa berbohong
kerananya, maka terhadap keaiban dan rahasia saudaranya, itu dikira satu
kedudukan dengannya; kedua-duanya laksana orang yang satu, tiada beda
antara keduanya melainkan dalam tubuh badan saja. Inilah yang dikatakan
persaudaraan atau persahabatan yang hakiki dan tulen.


Sabda Rasulullah s.a.w.:

“Barangsiapa menutup rahasia saudaranya, niscaya Allah akan menutup
rahasianya di dunia dan di akhirat.”

Sabdanya lagi:

“Apabila seseorang itu menyampaikan sesuatu berita, kemudian ia berpaling
(pergi dari situ), maka ketahuilah bahwa berita itu adalah amanat.”

Lagi sabda baginda:

“Majlis-majlis (perbicaraan dalam perkumpulan) adalah amanat.”

“Hanyasanya dua orang yang berbicara dalam suatu majlis itu adalah amanat,
dan tiadalah boleh bagi seseorang dari keduanya membocorkannya apa-apa
rahasia yang tiada disenananginya.”

Pernah ditanyakan kepada seseorang: Bagaimana anda memelihara rahasia?
Jawabnya: Aku menjadi kuburnya. Sesungguhnya dada orang yang merdeka itu
merupakan kuburnya segala rahasia.


Pernah diceritakan, ada seseorang menyatakan rahasia hatinya pada seorang
kawan, kemudian ia bertanya kepada kawan itu: Ingatkah anda apa yang aku
bicarakan tadi? Jawabnya: Entahlah, aku sudah lupa.


Al-Abbas, bapa saudar Nabi s.a.w. pernah memesan kepada puteranya
Abdullah, katanya: Aku lihat orang ini (maksudnya) saiyidina umar
Ibnul-Khattab r.a.) sering mengkedepankan engkau dari banyak orang-orang
yang tua, maka peliharalah nasihatku yang lima ini:
(1) Janganlah engkau bocorkan rahasianya sama sekali
(2) Janganlah engkau mencaci orang lain dihadapannya
(3) Janganlah engkau membiasakan bohong kepadanya
(4) Janganlah engkau melanggar perintahnya
(5) Janganlah sampai ia melihat sesuatu pengkhianatan

berlaku daripadamu.

Asy-Sya’bi memberi komennya terhadap ucapan di atas, katanya: Setiap satu
dari mutiara kata lima ini, lebih berharga daripada seribu kata.
Di antara hak kawan lagi ialah: Meninggalkan perbantahan atau pertengkaran
terhadap segala yang diucapkan oleh saudaramu.
Berkata Ibnu Abbas: Jangan ajak bertengkar pada orang yang kurang akal,
nanti ia akan membahayakan kamu. Jangan pada orang yang bersabar, nanti
kamu dibencinya pula.


Rasullullah s.a.w telah bersabda:

“Barangsiapa meninggalkan pertengkaran sedang ia bersalah, akan dibina

baginya sebuah rumah di dalam halaman syurga. Dan barangsiapa meninggalkan
pertengkaran sedang ia benar (tidak salah), akan dibina baginya sebuah

rumah di tempat tertinggi dalam syurga.”

Hadis tersebut menunjukkan betapa toleransi Agama Islam, padahal
meniggalkan yang salah itu adalah wajib hukumnya. Tetapi Hadis itu telah
menjadikan pahala melakukan sunnat di sini lebih besar. Sebab berdiam diri
ketika dalam kebenaran itu lebih berat tekanannya atas diri daripada
berdiam diri ketika dalam kesalahan atau kebatilan, dan sebenarnya pahala
itu dikira atas kadar tanggungan.


Ingatlah, bahwa sebab yang paling berat sekali untuk menyalakan api
kedengkian dalam hati sesama saudara, ialah dengan menimbulkan
pertengkaran dan perbantahan. Kedua-dua sifat ini merupakan punca utama
kepada permusuhan dan putus perhubungan. Bukanlah berputus hubungan itu
mula-mulanya berlaku dengan timbulnya pendapat-pendapat yang berbeda-beda,
kemudian dengan kata-kata yang tak senang didengar oleh telinga, kemudian
dengan beradu kekuatan atau berpukul-pukulan.


Nabi s.a.w. telah bersabda:


“Janganlah kamu bermusuh-musuhan, jangan benci-membenci, jangan
dengki-mendengki, jangan berputus hubungan antara satu dengan yang lain
dan jadilah kamu sekalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara-mara.”


Baginda bersabda lagi:

“Seseorang Muslim adalah saudara kepada Muslim yang lain, tiada boleh
menganiyainya, atau menghalangi keperluannya, atau menghinanya. Memadailah
seseorang itu dikira jahat, apabila ia menghina saudaranya Muslim yang

lain.”

Ketahuilah, bahwa seberat-berat penghinaan terhadap kawan telah melakukan
perbantahan terhadapnya, sebab orang yang membantah kata-kata kawannya itu
mungkin menganggap kawan itu bodoh, atau lalai, atau cuai dari memahami
sesuatu perkara menurut semestinya. Itulah yang dikatakan penghinaan yang
menyempitkan dada dan mengacau jiwa.


Abu Umamah meriwayatkan sebuah Hadis katanya: Pada suatu ketika Rasulullah

s.a.w datang ke tempat kami, sedang kami lagi berbantah-bantahan, maka
baginda pun murka lalu bersabda:

“Tinggalkanlah pertengkaran dan berbantah-bantahan, sebab amat sedikit
sekali kebaikannya. Hindarkanlah pertengkaran dan berbantah-bantahan sebab

tidak seberapa manfaatnya, malah ia akan menarik kepada permusuhan dan
perselisihan antara sesama saudara.”

Setengah para salaf berkata: Orang yang mengata-nista saudaranya atau
membantah-bantahnya, adalah orang yang rendah pekertinya dan yang telah
lenyap penghormatanya dirinya.


Yang lain pula berkata: Awas! Jangan sekali-kali berbantah-bantahan dengan
orang ramai. Sebab anda takkan berdaya menolak tipu daya seorang penyabar,
atau menahan bencana seorang jahat.


Al-Hasan berkata pula: Tiada akan terbeli permusuhan seorang dengan
kasih-sayang seribu orang.


Pendek kata tidak ada gunanya berbantah-bantahan, selain dari ingin
menampakkan diri sebagai orang yang banyak akal dan lebih utama, serta
menampakkan diri kawannya sebagai orang yang rendah dan masih bodoh.
Bukannkah itu menandakan takabbur dalam diri, menyimpan perasaan sombong,
suka menghina dan mencaci orang lain sebagai kurang akal, bodoh dan jahil.
Tidak ada pengertian lain yang lebih tepat dari yang tersebut itu, maka
bagaimana dapat dibentuk persaudaraan yang sejati dan bersefahaman.
Ibnu abbas pernah meriwayatkan dari Rasulullah s.a.w katanya, sabda

baginda:

“Janganlah anda membantah saudaramu, dan janganlah pula bersenda gurau
dengannya (yakni yang berlebih-lebihan), dan bila berjanji suatu
perjanjian, maka janganlah anda memungkirinya.”


Sabda baginda lagi:

“Kamu tidak mungkin akan menguasai orang ramai dengan harta kekayaan kamu,
tetapi kuasailah mereka dengan wajah yang berseri-seri dan budi pekerti
yang luhur.”


Adapun sifat berbantah-bantahan itu adalah berlawanan dengan sifat budi
pekerti yang luhur. Dan ketahuilah, bahawasanya asasnya persaudaraan itu
ialah permuafakatan dalam perbicaraan, perlakuan dan sayang-menyayangi
antara sesama saudara.

Hak persaudaraan dan persahabatan

Ketahuilah bahwasanya saudaramu itu mempunyai bermacam-macam hak iaitu:
(1) Hak di bidang harta
(2) Hak memberikan bantuan dengan jiwa dan raga.
(3) Hak memelihara lidah dan hati
(4) Hak memelihara ucapan
(5) Hak pengampunan
(6) Hak mendoakan
(7) Hak menepati janji dan ikhlas diri
(8) Hak memberi kemudahan, meninggalkan bersusah payah atau
menyusahkan.

Hak-hak saudara ini berjumlah delapan kesemuanya. Berikut keterangan satu
persatu:

(4) HAK MEMELIHARA LIDAH DALAM UCAPAN

Persaudaraan itu bukanlah semata-mata dengan menutup mulut dari
menyebut-nyebut segala yang dibenci oleh saudara itu, malah
menyebut-nyebut segala yang disukai dan digemarinya juga, bahkan yang
akhir ini lebih utama lagi. Sebab jika memadai dengan berdiam diri saja,
maka lebih baiklah kita bersahabat dengan ahli-ahli kubur. Jadi nyatalah,
bahwa tujuan utama persaudaraan itu, ialah supaya kita menimbulkan
kebaikan kepada saudara kita, dan bukanlah dengan semata-mata
menghindarkan dirinya dari gangguan atau bahaya yang mungkin kita lakukan
terhadapnya.

Sememangnya berdiam diri dari menyebut-nyebut keburukan kawan itu, seperti
menolak bahaya daripadanya, tetapi yang patut dilakukan juga ialah
menyebut-nyebut kebaikannya dan memuji-mujinya. Tambahan lagi.
Sewajarnyalah kita bertanyakan hal-ehwalnya seperti bertanyakan kalau ada
sesuatu halangan yang mungkin menimpa dirinya, lalu kita melahirkan
perasaan kurang senang dan mengambil berat mengenainya. Ataupun jika kawan
sakit, kita tunjukkan perasaan dukacita kalau terlalu lambat sembuh dari
penyakit itu. Ataupun jika berlaku lain-lain hal yang mungkin tiada
menyenanginya. Ataupun jika berlaku lain-lain hal yang mungkin tiada
menyenanginya, maka hendaklah kita turut melahirkan perasaan simpati
terhadapnya dengan ucapan dan perbuatan. Sebaliknya jika hal yang berlaku
itu mendatangkan rasa gembira dan senang dalam hatinya, maka hendaklah
kita turut melahirkan perasaan simpati terhadapnya dengan ucapan dan
perbuatan. Sebalinkya jika hal yang berlaku itu mendatangkan rasa gembira
dan senang dalam hatinya, maka hendaklah kita turut melahirkan perasaan
yang sama terhadapnya dengan ucapan, ataupun kita turut bersama-sama
bergembira kerana peristiwa atau sempena itu.

Pendek kata pengertian persaudaraan itu ialah bersama-sama berkongsi jiwa
dalam kesenangan dan kesusahan.

Berkata Rasulullah s.a.w dalam sabdanya.


“Kiranya seseorang kamu mencintai saudaranya, maka hendaklah diberitahukan
kepadanya.
Sebabnya Rasulullah s.a.w. menyuruh kita memberitahukannya kerana hal itu
akan melahirkan perasaan kasih sayang yang lebih. Jika kawan anda
mengetahui, bahwa anda mencintainya, tentulah ia akan mencintai anda sama,
bahkan barangkali lebih dari itu. Demikianlah cinta antara keduanya itu
akan terus bertambah dari masa ke semasa dan cinta antar Mu’min dengan

Mu’min yang lain, adalah amat dituntut di dalam syariat dan paling
dikasihi oleh Agama Islam.

Oleh itu juga, maka Rasulullah s.a.w telah menunjukkan kepada kita jalan
ini, dengan sabdanya:

“Beri memberilah antara kamu, niscaya kamu akan cinta-mencintai antara
sesama kamu”

Di antaranya hendaklah anda memanggilnya dengan nama-nama yang amat
disukai olehnya sama ada pada masa ia berada di hadapan anda ataupun
tidak.

Berkata Umar Ibnul-Khattab r.a.: Tiga perkara akan menimbulkan kasih
sayang saudaramu kepadamu:

(1) Hendaklah anda memberi salam kepadanya bila bertemu
(2) Hendaklah meluaskan tempat duduk baginya dalam majlis.
(3) Hendaklah memanggilnya dengan sebaik nama yang
disukainya.

Juga seharusnyalah anda memuji perilakunnya yang baik kepada orang-orang
yang memang dia senang kalau diceritakan tentang perilakunya. Itu juga
akan membawa sebab rasa gembiranya kepada anda. Ataupun anda memuji
anak-anaknya, isterinya, usahanya dan perbuatannya yang baik, malah patut
juga anda memuji akal pemikirannya, budi pekertinya, bentuk dan rupanya,
tulisannya, syair-syairnya, karya-karyanya dan segala apa saja yang boleh
menimbulkan kegembiraan pada diri kawan itu. Tetapi itu semua tidak boleh
dilakukan secara berpura-pura, atau dengan itu bohong, atau secara
berlebihan-lebihan, hanya yang dibolehkan ialah mengindahkan mana-mana
berita yang patut diindahkan saja.


Lebih digalakkan lagi, ialah supaya anda menyampaikan pujian orang jika
memang ada yang memujinya, kemudian anda tunjukkan rasa gembira atas
pujian itu, kerana menyembunyikan berita itu boleh dikira semacam dengki
dan iri hati.


Selain itu, hendaklah anda berterima kasih kepada kawan anda, bila dia
membuat sesuatu perkara baik terhadap anda. Bahkan wajar sekali anda
berterima kasih atas cita-citanya yang baik, meskipun dia belum sempat
menyempurnakan cita-cita itu.


Lebih berkesan lagi dalam menarik rasa cinta kawan anda, ialah membela
dirinya pada masa ia absen (tidak hadir); iaitu apabila ada orang
mengkecam kehormatannya, sama ada dengan ucapan yang terang-terangan
ataupun sindiran. Sebab hak persaudaraan itu ialah menyegerakan diri untuk
melindungi kawan dalam segala hal, dan menolongnya menentang orang yang
mencacinya, sehinggakan jika perlu boleh dikeraskan suara dalam menangkis
kecaman dan cacian orang itu. Mendiamkan diri dalam persoalan seumpama ini
akan menyempitkan dadanya, dan menyebabkan kawan melarikan diri tidak
ingin bersahabat terus dengan anda. Ini merupakan suatu kecacatan dalam
hak persaudaraan. Jadi membiarkan saja orang lain mencemarkan kehormatan
kawan tanpa membuat sesuatu, samalah seperti membiarkan orang lain
mengoyak-ngoyakkan dagingnya di hadapan anda. Sejelek-jelek kawan, ialah
bila ia melihat kawannya sedang diserang oleh anjing, dagingnya
digigit-gigit oleh anjing tadi, padahal dia berdiam diri saja menonton
kejadian itu berlaku di hadapan matanya. Dia tiada mempunyai belas kasihan
atau simpati untuk mempertahankannya. Dan sudah memamng di akui, bahwa
mencemarkan kehormatan diri itu pada tekanan jiwa, adalah lebih berat
ditanggung daripada dagingnya dikoyak-koyak oleh gigitan anjing. Sebab
itulah Allah s.w.t. telah menyamakan orang yang mencemarkan kehormatan

orang lain itu dengan memakan daging saudaranya yang sudah mati.

Firman Allah Ta’ala:

“Sukakah seseorang kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?
(al-Hujurat: 12)

Jelaslah, bahwasanya melindungi kawan dengan menolak celaan musuh-musuhnya
dan menentag orang-orang yang mencacinya itu adalah wajib dan menentang
yang tulen.


Setengah orang berkata: Setiap kali kawanku dicaci orang, melainkan
kugambarkan dirinya berada di hadapanku, maka akan kuucapkan apa-apa yang
patut didengarnya, jika ia hadir.


Tugas yang lain terhadap kawan, ialah mengajarnya ilmu pengetahuan yang
berguna serta memberikan nasihat yang berfaedah. Sebab hajat kawan kepada
ilmu pengetahuan tidak kurang dari hajat kawan kepada ilmu pengetahuan
tidak kurang dari hajatnya kepada harta kekayaan. Maka jika anda kaya
dengan ilmu pengetahuan, sayugialah anda membantu mengajarnya dari
kelebihan ilmu yang ada pada anda, dan menunjukinya ke jalan mendatangkan
baginya manfaat dunia dan akhirat.


Andaikata sesudah anda mengajar dan menunjukkannya jalan yang benar,
malah dia tidak menurut petunjuk itu, maka hendaklah anda memberi nasihat;
yaitu dengan mengingatkannya tentang bencana-bencana perbuatan itu serta
dengan mengingatkannya tentang bencana-bencana perbuatan itu serta
faedah-faedahnya pula, jika ditinggalkan kelakuan itu. Kemudian
diingatkannya pula tentang perkara-perkara yang harus dibencinya, dunia
dan akhirat, mudah-mudahan ia menginsafi dirinya dan tersedar akan
kesalahan-kesalahan atau keburukan yan dilakukannya.


Teguran dan nasihat itu hendaklah disampaikan secara rahsia, supaya tiada
seorang pun yang mengetahuinya, kerana nasihat yang disampaikan di hadapan
khalayak ramai itu, bukanlah teguran atau nasihat, melainkan suatu
kecemaran yang memalukan. Teguran yang disampaikan secara rahsia itulah
yang dinamakan belas kasihan dan nasihat yang sebenarnya.


Berkata Zun-Nun: Bersahabat kepada Tuhan dengan menurut perintahNya.
Bersahabat kepada makhluk dengan mengambil nasihatnya. Bersahabat kepada
nafsu dengan meninggalkan keiginannya.


Janganlah menyangka bahwa menasihati seorang kawan itu akan menyebabkan
hatinya tak senang, kerana mengingatkan apa yang ia tiada mengetahui itu,
merupakan tanda belas kasihan dan itulah yang dinamakan persepakatan hati

– yang maksudnya di sini ialah jiwa orang-orang yang waras fikirannya.


Adapun orang-orang yang kurang akalnya, maka tentu sekali tiada boleh
dikira dalam kategori di atas tadi. Ketahuilah, bahwa orang yang
mengingatkan kamu atas perbuatanmu yang jahat, atau menegur kelakuanmu
yang tak senonoh supaya kamu mengubahnya itu, samalah seperti orang yang
memberitahu kamu; ada seekor ular atau kala jengking dikakimu, dan
binatang itu hampir pula membinasakan kamu. Andai kata kamu marah kepada
orang yang memberitahu itu, tentulah amat dahsyat sekali kebodohan kamu
itu?!


Kelakuan-kelakuan yang buruk itu samalah seperti kala-jengking dan ular,
sebab ia akan membinasakan kamu di akhirat kelak. Kelakuan-kelakuan itu
akan merosakkan hati dan jiwa, dan pedihnya lebih hebat daripada anggota
dan tubuh badan yang digigit ular atau kala jengking, kerana
kelakuan-kelakuan yang tak senonoh itu dijadijan Allah dari api neraka
yang bernyala-nyala.


Oleh kerana itulah maka Umar Ibnul-Khattab r.a. meminta para sahabatnya
untuk menunjukkan keaibannya. Beliau berkata: Moga-moga Allah merahmati
orang yang menunjukkan keaiban saudaranya.


Salah seorang para salaf menulis kepada saudaranya, katanya: Ketahuilah
wahai saudaraku, bahwa orang yang selalu membaca al-Quran sedangkan
hatinya amat terpikat kepada harta kekayaan dunia, maka saya belum yakin
bahawasanya ia tiada tergolong orang-orang yang suka mengejek-ejek

keterangan-keterangan Allah Ta’ala.
Allah s.w.t telah mensifatkan orang-orang yang suka berbohong itu dengan
sikap orang yang membencikan orang-orang yang menyampaikan nasihat,
firmanNya:


“Akan tetapi kamu tiada menyukai orang-orang yang memberikan nasihat.”
(al-A’raf: 78)

Ini sekiranya keaiban itu dilakukan secara tidak sengaja atau secara
lalai. Akan tetapi sekiranya keaiban itu dilakukan dengan sengaja, maka
hendaklah mengambil sikap lemah-lembut dalam menyampaikan nasihat atau
teguran. Sekali dengan sindiran dan sekali lagi dengan terang-terangan,
dengan syarat tidak sampai menimbulkan kebosanannya. Jika anda dapati
bahwa nasihat itu tida memberi apa-apa kesan pada dirinya, malah semakin
dinasihati semakin menjadi-jadi kelakuan tak baik itu ditunjukkannya, maka
berdiam diri itu adalah lebih utama. Itu semua jika berkaitan dengan
maslahat-maslahat kawanmu dalam hal-ehwal agama dan dunianya.


Adapun jika berkaitan dengan kepentingan diri kamu, di mana ia telah
dicuaikan oleh kawan, maka hendaklah kamu menanggungnya dengan sabar dan
cuba memaafkan dan melupakan saja, ataupun pura-pura tidak melihat.
Melibatkan diri dalam menegur orang serupa itu tidak ada gunanya. Ya, jika
keterlaluan kelakuan buruknya itu mungkin akan menyebabkan putus
perhubungan antaranya dengan anda, maka memarahnya dengan secara rahasia
itu lebih baik daripada menegur secara terus terang, ataupun menulis
surat kepadanya adalah lebih utama daripada mencelanya dengan lisan.
Walaupun begitu, yang lebih utama dari ini semua ialah menahan diri dari
bertindak, jika boleh.

Hak persaudaraan dan persahabatan

Ketahuilah bahwasanya saudaramu itu mempunyai bermacam-macam hak iaitu:
(1) Hak di bidang harta
(2) Hak memberikan bantuan dengan jiwa dan raga.
(3) Hak memelihara lidah dan hati
(4) Hak memelihara ucapan
(5) Hak pengampunan
(6) Hak mendoakan
(7) Hak menepati janji dan ikhlas diri
(8) Hak memberi kemudahan, meninggalkan bersusah payah atau
menyusahkan.

Hak-hak saudara ini berjumlah delapan kesemuanya. Berikut keterangan satu
persatu:

(5) HAK MEMAAFKAN KESALAHAN DAN KETELANJURAN

Keterlanjuran kawan di dalam agamanya boleh ditegur secara
lemah-lembut dengan jalan nasihat, sebagaimana yang telah kita sebutkan,
sebelum ini. Jika kawan itu terus tidak mengendahkan nasihat, maka menurut
pendapat para salaf, hendaklah memutuskan perhubungan dengannya. Setengah
yang lain berpendapat boleh diteruskan perhubungan dan rasa kasih sayang
dengannya, tetapi harus membenci segala kelakuannya yang buruk itu. Adapun
ketelanjurannya terhadap diri kamu meskipun membosankan, tiada diragukan
lagi utamanya dimaafkan dan menanggung dengan penuh daya-upaya segala
kesalahannya itu. Malah harus dibalas dengan cara yang baik, ataupun
mengharapkan sesuatu keuzuran daripadanya, sama ada dalam waktu yang dekat
mahupun jauh.


Ada orang berkata: Sewajarnyalah anda mencari alasan bagi
keterlanjuran sahabatmu itu hingga 70 macam alasan (keuzuran). Andaikata
jiwamu tiada dapat menerima alasan itu, maka jangan disalahkan orang lain
melainkan dirimu sendiri. Katakanlah kepada dirimu ketika itu: Alangkah
kerasnya hatimu itu. Sahabatmu mengemukakan keuzurannnya hingga 70 kali,
kamu masih tidak mahu menerimanya Sebenarnya engkaulah yang tercela dan
bukan sahabatmu!


Al-Ahnaf berkata: Hak seseorang sahabat atasmu ialah agar kamu
menanggung tiga macam perkara, iaitu:
(1) Penganiayaan disebabkan kemarahannya
(2) Penganiayaan disebabkan perubahan keadaannya
(3) Penganiayaan disebabkan kesalahnnya


Walau bagaimanapun sekalipun, bila seorang sahabat mengemukakan
sebab-sebab keuzurannya, sama ada bohong apatah lagi kalau betul, maka
hendaklah anda menerima keuzuran itu, sebab orang Mu’min yang sejati

ketika dalam keadaaran marah, ia segera pula redha dengan alasan yang
dikemukakan kepadanya. Dan kalau mesti marah atau benci pun, maka
janganlah bersikap keterlaluan.


Allah telah berfirman:

“Moga-moga Allah akan menukarkan keadaan kamu dengan orang-orang yang kamu
bermusuh-musuhan itu dengan kasih sayang.” (al-Mumtahinah: 7)

Berkata Umar Ibnul-Khattab r.a.: Awas, jangan sampai kecintaan kamu itu
seperti dipaksa-paksakan, atau kebencian kamu pula seperti membinasakan.
Maksudnya sehingga kamu merasa senang hati akan kebinasaan sahabatmu itu.

(6) HAK MENDOAKAN SAHABAT

Sewajarnyalah seorang sahabat mendoakan sahabatnya dengan doa
yang baik-baik, bagi diri sahabat itu dan ahli rumahtangga serta sekalian
orang yang dalam tanggunggannya, sebagaimana dia mendoakan bagi dirinya
sendiri; sama ada sahabat itu masih hidup dalam dunia ini, mahupun sudah
mati.


Dalam sebuah hadis ada tertera:

“Bila seseorang mendoakan bagi diri sahabatnya sedang ia tidak
ada bersamanya, maka Malaikat akan berkata: Dan engkau juga akan menerima
sepertinya juga.”


Dalam Hadis yang lain pula:

“Doa seseorang untuk saudaranya dalam masa ketiadaannya, tidak
akan tertolak.”

Abu Darda’ berkata; Aku sentiasa mendoakan untuk 70 orang dari
sahabatku ketika aku dalam keadaan sujud terhadap Allah, aku sebutkan
nama mereka satu-satu.


Berkata Muhammad bin Yusof al-Ishfahani: Siapakah yang kiranya
dapat disamakan dengan seorang sahabat yang saleh? Keluargamu
membahagi-bahagikan harta peninggalanmu dan mereka mengkecap kenikamatan
dari harta benda yang kamu wariskan untuk mereka. Padahal sahabat yang
saleh itu duduk seorang diri berdukacita kerana kepergianmu, amat merasa
bimbang dengan keadaan yang kamu sedang menghadapinya dan apa yang akan
terjadi terhadap kamu, dia mengangkatkan tangan mendoakan kamu di tengah
malam, manaka engkau sedang berada di dalam lapisan bumi.

Berkata setengah para salaf: Mendoakan orang-orang yang sudah
mati itu, samalah seperti mengirimkan hadiah-hadiah kepada orang-orang
hidup.



(7) HAK KEUNGGULAN JANJI DAN IKHLAS.

Arti keunggulan di sini, ialah berdiri teguh atas cinta yang
berterusan, hingga menemui maut, kemudian yang hidup akan meneruskan
kecintaan itu terhadap anak buah si mati dan para sahabatnya. Sebab maksud
cinta itu, ialah supaya berpanjangan hingga ke Hari Akhirat. Jika cintanya
terputus sebelum mati, niscaya akan sia-sialah amalan dan hilanglah segala
usaha.

Diceritakan dari Rasulullah s.a.w., bahwa baginda pernah
memuliakan seorang perempuan tua, lalu para sahabat bertanya sebabnya.
Jawab baginda: Perempuan tua ini selalu datang ke rumah kami di waktu hanya
Siti Khadijah, dan sesungguhnya kemuliaan janji itu dari agama.

Termasuk arti keunggulan kepada kawan ialah memelihara sekalian
rakan-rakan dan sanak-keluarganya yang menggantungkan kehidupan mereka
kepadanya. Mengambil berat tentang hal-ehwal mereka ini lebih berkesan
dalm hati kawan itu daripada mengambil berat tentang dirinya sendiri. Ia
akan berlonjak gembira kerana ada orang yang mengambil tahu tentang
kesusahan para tanggungannya yang mana itu menunjukkan pula tanda kukuhnya
kasih sayang dan cinta seorang kawan kepada kawannya.

Apabila seseorang itu berkasih sayang pada jalan Allah jangan
biarkan kasih sayang itu bercampur aduk dengan dengki dan hasad baik dalam
perkara agama ataupun dunia. Bagaimana hatinya sampai tergamak
mendengkinya, padahal segala yang ada dalam tangannya itu, adalah untuk
kawannya dan segaa manfaat dan maslahat akan kembali kepada kawannya,

Dengan contoh serupa inilah Allah s.w.t telah mensifatkan
orang-orang yang bercinta pada jalan Allah dengan fimanNya:


“Mereka tiada menyimpan keinginan dalam hati, terhadap apa yang
diberikan kepada mereka, dan mereka mengutamakan orang lain dari diri
sendiri.” (al-Hasyr: 9)


Jika ada keinginan di dalam hati, tentulah ada iri hati dan
perasaan dengki.

Termasuk dalam arti keunggulan lagi ialah: Jangan sampai keadaannya
berubah dalam perhubungan dengan sahabatnya andaikata ia mendapat pangkat,
atau luas pengaruhnya, ataupun tinggi kedudukannya. Meninggikan diri ke
atas rakan-rakan kerana sebab-sebab tersebut tadi adalah sifat yang
tercela. Lihat apa kata penyair dalam maksud ini:

Manusia budiman bila dalam kemewahan sentiasa teringat kawan yang
bersamanya dalam rumah yang buruk.

Selanjutnya hendaklah anda ketahui, bahawasanya pengertian
keunggulan itu bukanlah bila anda menyetujui rakan anda menjejaki jalan
batil dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan agama yang suci, malah
hendaklah anda menentangnya serta menasihatinya kerana Allah.

Sebagai tanda kebenaran dan keikhlasan dalam persahabatan serta
keunggulan dalam diri, hendaklah anda merasa berat bila hendak berpisah
dengan kawan, tidak dapat ditanggung oleh diri biar apa pun sebabnya. Kata
seorang penyair:

Semua bencana zaman dapat kutanggung
Hanya berpisah dengan kekasih saja berat padahnya.

Ibnu Uyainah menyajak, katanya: Pernahku bergaul dengan sepuak
kaum yang kini telah keberpisah dengan mereka selama 30 tahun. Tetapi
hasrat perpisahan itu masih belum hilang lagi dari hatiku.
Antara tanda keunggulan lagi, agar ia tiada mengendah
percekcokan orang akan segala percekcokan orang lain terhadap kawannya,
ataupun berkawan dengan musuh kawannya.

Berkata Imam Syafi’I rahimahullah: Apabila kawanmu sudah
mentaati kehendak musuhmu maka kedua-duanya telah bersyarikat dalam
permusuhanmu.*

* Aku berkata: Alangkah indahnya apa yang diucapkan oleh Ibnul
Muqaffa’ dalam kitab ad-Durratul Yatimah bab ‘kawan’ mengenai kedudukan

ini, katanya: Jika kau lihat kawanmu bersama musuhmu, janganlah kau merasa
marah terhadapnya, kerana ia ketika itu adalah salah satu dari dua orang:
Pertama: Andaikata ia seorang yang boleh dipercayai, niscaya ia merupakan
sebaik-baik kawan yang boleh memberi faedah kepadamu disebabkan
terdekatnya kepada musuhmu. Jika ada bahaya yang dirancangkan oleh musuhmu
dapat ia menghalangnya, jika ada keburukan dapat ia menutupnya; jika ada
rahasia dapat ia memberitahumu. Adapun kawan itu apalah yang boleh
menguntungkan kamu, bila ia berkawan dengan hanya orang-orang
kepercayaanmu saja?
Kedua: Andaikata ia seorang kawan yang tidak rapat denganmu, maka dengan
apa jalan engkau hendak menahannya dari berkawan dengan orang ramai, atau
engkau hendak memerintahnya supaya jangan berkawan atau menghampiri,
melainkan orang yang engkau tunjuk saja.


Kata-kata ini adalah sangat baik untuk dijadikan tauladan yang boleh
menarik musuh kepada menginsafkan dirinya.

(8) HAK MERINGANKAN DAN TIDAK MEMBERATKAN


Hendaklah seseorang kawan itu tiada memberati kawannya dengan
sesuatu perkara yang akan menjengkelkannya, bahkan hendaklah ia
meringankan tanggungannya dengan memikul setengah dari kebutuhannya dan
keperluannya, Jangan sekali-kali ia membebankan kawan itu untuk menunaikan
sebahagian dari kewajiban-kewajibannya sendiri. Malah jangan pula ia

mengharap sesuatu dari kasih sayangnya terhadap kawan itu, melainkan
semata-mata kerana Allah Ta’ala saja, ataupun menganggapnya sebagai
semacam sumbangan terhadap agamanya, dan berlapang hati untuk menemui
Allah serta mendekatkan diri kepadaNya. Atas tujuan-tujuan serupa itulah
ia menunaikan hak-hak kawan dan memberikan bantuan-bantuan kepadanya.


Setengah para Salihin berkata: Sesiapa yang membebani saudaranya
dengan sesuatu perkara yan tak dapat ditanggungnya, maka telah menganiayai
saudara itu. Sesiapa membebani saudaranya pula dengan sesuatu yang pernah
ia bebani sebelum itu, maka ia telah menyusahkannya. Dan sesiapa yang
tidak pernah membebani saudaranya apa-apa pun, maka itulah orang yang
paling utama dan paling unggul kepada sekalian saudaranya.


Kesimpulannya, janganlah sampai ia menyusahkan kawannya sama
sekali sehingga ia merasa tiada malu dengan kawan , sebagai mana ia tiada
malu dengan diri sendiri.


Berkata Ali r.a.: Sejelek-jelek kawan, ialah kawan yang sentiasa
memberati kamu dengan perkara-perkara yang tak tertanggung, menyebabkan
kamu bersikap serba-salah dan menyeret kamu kepada memuat berbagai alasan.


Al-Fudhail berkata: Yang menyebabkan orang ramai putus
perhubungan antara satu dengan yang lain ialah taklif; iaitu memberatkan
diri orang lain dengan bermacam-macam permintaan. Seseorang kawan
menziarahi kawannya, lalu ia memberatkan kawan itu dengan berbagai-bagai
tanggungan, akhirnya kawan itu pun memutuskan perhubungan dengannya.


Pernah Ja’far bin Muhammad as-Sadiq radhiallahu anhuma berkata:

Seberat-berat kawan padaku, ialah kawan yang suka menyusahkan dirinya
keranaku, sedangkan aku terpaksa berkira-kira terhadapnya. Dan
seringan-ringan kawan pula, ialah kawan yang suka menyusahkan dirinya
keranaku, sedangkan aku terpaksa berkira-kira terhadapnya. Dan
seringan-ringan kawan pula, ialah kawan yang bila aku bersamanya sama
seperti aku duduk seorang diri.


Di antara cara-cara lain untuk meringankan diri dan tiada
menyusahkan ialah hendaknya ia tiada membantah kawannya dalam melakukan
ibadat-ibadat yang sunnat. Ada sekumpulan para salaf dalam persahabatan
mereka; bila ada seorang di antara mereka yang makan terus sepanjang hari,
tidak pula ditegurnya, mengapa ia makan terus, mengapa tidak berpuasa.


Jika ada yang puasa sepanjang abad pula, tidak juga disuruhnya, supaya
berbuka puasa atau makan. Jika ada yang tidur sepanjang malam, tidak ada
yang membantah atau menyuruh bangun, begitu juga jika ada yang
bersembahyang sepanjang malam, tidak ada yang membangkang atau menyuruhnya
supaya tidur. Keadaan mereka sekalian sama belaka, di mana-mana mereka
berada , tidak lebih dan tidak kurang.


Ada pepatah yang berkata: Bila tidak ada banyak formality atau
pantang-larang dalam persahabatan, persahabatan akan kekal. Dan bila
bantuan itu senang diperolehi dari seorang kawan, tentulah kasih sayang
antaranya akan berpanjangan.


Setengah orang berkata: Jika seseorang bebas melakukan empat
perkara berikut dalam rumah saudaranya, maka telah sempurnalah kemesraan
antara mereka, iaitu:
(1) Biasa makan bersama-samanya di rumah
(2) Biasa membuang air kecil atau besar di situ.
(3) Biasa sembahyang
(4) Biasa tidur

Apabila keempat-empat perkara ini disebutkan kepada setengah para guru
agama, mereka berkata ada satu lagi yang kurang aitu: Jika ia datang
membawa isterinya sekali ke rumah saudaranya, kerana rumah itu adalah
tempat yang sesuai untuk dilakasanakan kelima-lima perkara yang tersebut
tadi. Kalau tidak kerana itu, tentulah masjid lebih utama untuk melakukan
sembahyang bagi orang-orang yang suka beribadat.


Apabila seorang sahabat sudah melakukan kelima-lima perkara tersebut di
atas tadi terhadap sahabatnya, maka telah sempurnalah ikatan persaudaraan
di antara keduanya, dan terangkatlah kekompakan serta terhasillah
kelapangan hati dan kebebasan pergerakan.


Orang-orang Arab bila menyambut tamunya, menunjukkan sikap yang demikian
ketika ia berkata kepada tamunya: Marhaban wa Ahlan wa Sahlan. Marhaban
artinya: Kami manyambutmu dengan penuh lapang hati dan lapang tempat.
Ahlan artinya: Anda akan mendapati semua ahli rumah ini melayan kehendakmu
dan menghiburkan hatimu. Sehingga anda tidak risau atau canggung. Sahlan
artinya: Anda akan mendapati serba-serbinya mudah, tidak ada sesuatu yang
anda kehendaki, melainkan dikabulkan dan diusahakan.


Menakala meringankan diri anda tiada menyusah-nyusahkan tidak akan
sempurna, selagi seseorang itu tiada menganggap dirinya kurang dan lebih
rendah dari kawannya. Kemudian hendaklah ia meletakkan sangkaan yang baik
terhadapa kawan, sedangkan pada diri sendiri ia meletakkan sangakaan yang
buruk selalu. Dan ketahuilah tiada faedahnya berkawan dengan seseorang
yang tiada menghargai diri anda, sebagaimana anda menghargai dirinya.


Itulah serendah-rendah tingkatan persahabatan, yakni masing-masing
memandang diri kawan yang lain sama sedarjat belaka, dan yang lebih
sempurna lagi kalau ia memandang kawannya: serba-serbi lebih dari dirinya
sendiri. Apabila ia menganggap dirinya lebih utama dari kawannya, maka
sebenarnya ia telah menghina kawan itu, dan perkara semacam ini pada kaum
Muslimin umumnya adalah dilarang dan dicela.


Rasulullah s.a.w. telah bersabda:

“Memadailah seseorang itu dikatakan jahat bila ia memandang rendah
terhadap saudara lainnya yang Muslim.

Termasuk dalam kesempurnaan melapangkan diri dan meninggalakan
menyusah-nyusahkan diri, ialah bila seorang kawan itu mengajak
bermusyuawarat dengan kawan yang lain dalam perkara-perkara yang hendak
dilakukan, kemudian ia menerima pula nasihat kawan itu.


Allah telah berfirman:

“Dan musyawaratkanlah dengan mereka dalam segala urusan kamu”
(ali-Imran: 159)

Ini merupakan puncak segala hak-hak persahabatan.
Dan segala yang tersebut di atas itu, tiada akan cukup sehingga anda
menurunkan diri anda ke tingkatan khadam, yang bersedia untuk melaksanakan
semua hak-hak persahabatan itu dengan segala anggota anda.

DARI SEGI PENGLIHATAN

Sewajarnya anda melihat kepada kawan-kawan anda dengan
penglihatan yang penuh kasih sayang, sehingga mereka merasakan keadaan itu
dari anda dengan sebenar-benarnya. Kemudian hendaklah selalu memerhatikan
segala kebaikan yang mereka lakukan, dan melupakan segala keaiban atau
keburukannya. Jangan memalingkan wajah, ketika mereka mendapatkan anda,
atau ketika mereka bercakap dengan anda.


Diriwayatkan bahawasanya Rasulullah s.a.w sering
membahagi-bahagikan pandangannya kepada setiap orang yang duduk dalam
majlisnya sehingga setiap orang yang duduk di situ menyangka, bahwa dialah
orang yang diberikan penghormatan oleh baginda dalam majlis itu. Begitu
juga baginda alaihissalam, apabila bertemu muka dengan para sahabatnya
Baginda sering merasa terharu dengan cerita-cerita yang disampaikan oleh
mereka kepadanya.

DARI SEGI PENDENGARAN


Apabila kawan-kawan anda mengucapkan sesuatu kepada anda, maka
hendaklah anda mendengar ucapannya dengan penuh minat, merasa asyik dengan
ucapan itu seraya mempercayai segala-galanya dan menunjukkan kesenangan
hati terhadap ucapan itu. Jangan sekali-kali memotong percakapan mereka
dengan cadangan atau tentangan, dengan tambahan atau sanggahan. Jika anda
merasa penat kerana ada sesuatu urusan lain, maka berikanlah keuzuran atau
alasan kepada mereka.

DARI SEGI LIDAH

Mengenai perihal lisan atau lidah, telah tersebut sebelum ini
hak-haknya. Antaranya tidak menganggkat suara dan tidak bercakap-cakap
kepada mereka, melainkan menurut kadar fahaman mereka, supaya mereka
ketahui dan faham.

DARI SEGI KEDUA TANGAN


Mengenai kedua tangan, jagan menggenggam kedua tanganmu untuk
menghulurkan bantuan kepada mereka, selagi kedua tangan dapat melakukan.

DARI SEGI KEDUA KAKI


Mengenai kedua kaki pula, jangan melangkah ke hadapan kecuali
sekadar tempat yang mereka berdiri, jangan melangkah dekat dengan mereka,
melainkan sekadar yang perlu saja. Kedua kaki itu akan berdiri untuk
menyambut mereka sampai, dan jangan pula duduk melainkan sesudah mereka
sekalian duduk. Dan hendaklah duduknya dengan penuh merendah diri dan
tidak duduk, melainkan di tempat mereka duduk.